Lepas dari Jeratan Gelar dan Keturunan: Menuju SDM yang Insan Kamil dan Kompetitif
Di tengah arus perubahan zaman, banyak tantangan yang dihadapi oleh umat Muslim, khususnya dalam membangun sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan kompetitif. Salah satu tantangan yang kerap muncul adalah kecenderungan masyarakat mengagungkan gelar dan keturunan tertentu seperti "ustadz," "kyai," "haji," atau "habib" sebagai tolak ukur kehormatan atau kepemimpinan. Meskipun gelar-gelar tersebut memiliki nilai historis dan religius, ketergantungan pada status ini kerap menjadi penghambat dalam pengembangan SDM yang sejati, yakni insan kamil yang holistik, mandiri, dan berdaya saing tinggi.
Problematisasi Gelar dan Keturunan
Penghormatan terhadap orang yang memiliki gelar atau berasal dari keturunan tertentu memang wajar. Namun, masalah muncul ketika masyarakat secara berlebihan menggantungkan standar keilmuan, moral, dan kepemimpinan pada gelar-gelar tersebut. Kecenderungan ini sering kali membuat ruang bagi mereka yang tidak memiliki gelar atau keturunan tersebut menjadi lebih sempit. Pada akhirnya, hal ini menciptakan ketergantungan sosial yang tidak sehat di mana nilai seseorang diukur dari status, bukan dari kemampuan atau kualitas diri.
Lebih parah lagi, dalam beberapa kasus, keturunan dari tokoh agama terkemuka dianggap otomatis memiliki legitimasi untuk memimpin atau memberikan pandangan, meski mereka belum tentu memiliki kompetensi yang mumpuni. Akibatnya, potensi individu lain yang lebih kompeten menjadi terabaikan, dan inovasi serta perkembangan masyarakat menjadi terhambat.
Insan Kamil: Konsep SDM Ideal
Dalam Islam, konsep insan kamil atau manusia paripurna adalah bentuk ideal SDM yang diharapkan. Insan kamil adalah seseorang yang mampu memadukan antara nilai-nilai spiritual dan material dalam kehidupannya. Ia tidak hanya saleh dalam ibadah ritual, tetapi juga mampu memberi kontribusi nyata bagi masyarakat melalui keahlian, ilmu, dan moralitas yang dimilikinya. Dalam konteks ini, insan kamil bukan hanya soal gelar atau keturunan, melainkan soal usaha terus-menerus untuk mengembangkan potensi diri, meningkatkan kapasitas intelektual, dan berkontribusi dalam menyelesaikan masalah-masalah umat.
Membangun insan kamil berarti memberi ruang bagi siapa pun yang memiliki kemampuan, etika kerja, dan kemauan untuk berkembang, tanpa memandang asal-usul. Ini juga mencakup pentingnya pendidikan yang merata, keterampilan yang relevan dengan zaman, serta pengembangan karakter yang kuat. Gelar akademis atau agama memang penting, tetapi mereka seharusnya hanya menjadi alat, bukan tujuan akhir dalam pencapaian insan kamil.
SDM yang Kompetitif: Melampaui Gelar
Untuk mewujudkan SDM yang kompetitif, masyarakat perlu melepaskan diri dari pola pikir statis yang mengagungkan gelar semata. Dalam dunia yang semakin global dan kompetitif, keunggulan SDM diukur dari kemampuan inovasi, adaptasi, kolaborasi, dan kerja keras. Kompetisi yang sehat tidak dilihat dari siapa yang memiliki gelar tertentu, melainkan siapa yang memiliki kemampuan nyata untuk memecahkan masalah, memimpin dengan integritas, dan memberikan solusi yang inovatif.
Salah satu cara untuk mewujudkan hal ini adalah dengan mendorong pendidikan yang inklusif dan berbasis kompetensi. Pendidikan agama, misalnya, tidak hanya mengajarkan soal ritual atau status sosial, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai universal seperti kejujuran, kerja keras, tanggung jawab, dan kebermanfaatan bagi orang lain. Hal ini harus dipadukan dengan pendidikan umum yang mendorong kreativitas, critical thinking, dan kemampuan teknis yang relevan dengan dunia kerja.
Menutup Paradigma Lama: Membangun Harapan Baru
Transformasi menuju SDM yang insan kamil dan kompetitif tidak akan terjadi jika masyarakat masih terjebak dalam paradigma lama yang mengutamakan gelar atau keturunan. Kita harus mulai membangun sistem sosial yang lebih terbuka, di mana penghargaan terhadap seseorang tidak didasarkan pada status formal atau sejarah keluarganya, melainkan pada kontribusi nyata yang diberikannya bagi umat dan masyarakat.
Dengan demikian, umat Islam dapat keluar dari jeratan eksklusivitas gelar dan keturunan, dan mulai melangkah menuju masa depan yang lebih inklusif, kompetitif, dan berdaya saing global. Transformasi ini tidak hanya akan meningkatkan kualitas SDM, tetapi juga memperkuat posisi umat dalam menghadapi tantangan global, sekaligus mewujudkan insan kamil yang sejati, yang tidak hanya mulia secara spiritual, tetapi juga tangguh secara intelektual dan sosial.
Komentar
Posting Komentar