PERKOSAAN
PERKOSAAN
Dalam ruang budaya Indonesia, istilah perkosaan selalu dimaknai sebagai pemaksaan hubungan seksual terhadap perempuan. Di sini perempuan diposisikan sebagai korban kekerasan seksual. Perkosaan merupakan kekerasan seksual paling menyakitkan dan meninggalkan trauma psikologis yang panjang dan sulit dihapuskan dalam seluruh kehidupan korban. Kecenderungan hari ini menunjukkan bahwa peristiwa perkosaan semakin memperlihatkan eskalasi yang sering baik secara kwantitas maupun modus operandinya, di ruang tertutup, di gubuk yang lengang di kantor yang terkunci, maupun di ruang terbuka, di angkutan kota dan sebagainya. Perkosaan tidak hanya dilakukan seorang diri, tetapi sering juga terjadi secara beramai-ramai.
Perkosaan merupakan tindakan yang melanggar harkat dan martabat kemanusiaan, dan karena itu harus dihukum berat. Ibnu Hazm ahli fiqh Andalusia, menggolongkan pemerkosa sebagai “muharib” (penyerang dalam perang). Ia mengatakan :
“al-Muhârib ialah orang yang merasa dirinya kuat (atau memiliki kekuasaan) yang menakut-nakuti orang, yang melakukan kerusakan di muka bumi dengan senjata atau tidak sama sekali, pada malam hari atau siang, di kota atau di desa, di istana atau di masjid, dipimpin oleh seseorang di antara mereka atau tidak ada selain khalîfah (pemerintah), dengan pasukan tentara atau lainnya, bergerombol di lapangan luas yang sepi atau di tempat ramai, di kota besar atau kecil, seorang diri atau massal. Setiap orang yang menyerang orang yang lewat (yang sedang berjalan) dan mengancam dengan membunuh atau merampok atau melukai atau melakukan kekerasan seksual adalah muhârib. Mereka, sedikit atau banyak harus dihukum sebagai Muhârib, sebagaimana disebut al-Qur’ân surah al-Mâ’idah,5: 33 ) (Al Muhalla, XII/308). Hukuman terhadap “muharib” dalam ayat ini sangatlah berat.
Fenomen sosial kita hari ini memperlihatkan bahwa peristiwa perkosaan semakin hari semakin mencemaskan. Korban meliputi semua kelompok usia ; dari balita, anak-anak sampai nenek-nenek. Korban tidak hanya terbatas pada perempuan yang tampil dengan tubuh terbuka, tetapi juga mereka yang sehari-hari membungkusnya rapat-rapat. Pelakunya terdiri dari orang yang tidak dikenal, tetangga, teman dekat sampai saudara. Bahkan tidak juga sedikit dilakukan oleh ayah kandung maupun ayah tiri. Yang terakhir ini biasa disebut “incest”, hubungan seks sedarah. Pelakunya juga meliputi beragam profesi dari buruh kasar hingga kaum profesional berdasi bahkan juga dari kalangan orang yang mengerti agama.
Mengapa terjadi perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan ?. Jawabannya beragam. Sebagian menyebut karena korban mengenakan pakaian terbuka, membuka auratnya seakan-akan membiarkan tubuhnya siap untuk menjadi sasaran laki-laki. Tidak sedikit orang bilang : perempuan yang tanpa Jilbab, sebagai pemicunya. Jawaban ini sama sekali tidak rasional. Bukankah fakta perkosaaan juga terjadi terhadap perempuan yang berpakaian tertutup dan di rumah atau di kantor yang tertutup rapat atau terkunci?. Bukankah kita sering memperoleh informasi betapa acapkali kasus kekerasan seksual, termasuk perkosaan, justeru terjadi di Negara-negara yang mewajibkan perempuan berjilbab/berkerudung seperti Arab Saudi atau di beberapa Negara di Timur tengah atau di tempat lainnya?. Mengapa perkosaan juga terjadi terhadap perempuan balita, nenek-nenek dan bahkan anak kandung atau sedarah lainnya?. Mengapa mereka yang menjadi korban justeru disalahkan?. Mengapa si pelaku cenderung dibela?. Sebaliknya, berapa banyak fakta di dunia ini bahwa perkosaan jarang terjadi pada komunitas social di mana perempuan-perempuan di sana tampil dengan tubuh terbuka atau setengah terbuka atau tidak berjilbab?. Jawaban lebih baik dari itu dikemukakan sebagian orang bahwa ia terjadi karena kerusakan mental personal pelaku dan rendahnya pendidikan dia. Tetapi ada jawaban lain yang paling fundamental, paling masuk akal dan paling universal. Perkosaan terjadi karena adanya ideology social mainstream yang menempatkan perempuan di bawah dominasi laki-laki. Ideologi ini memandang dan mempersepsikan perempuan sebagai entitas social yang rendah dan tak berharga. Pandangan yang dikenal sebagai patriarkisme inilah yang pada gilirannya acapkali melakukan victimisasi korban. Inilah yang sesungguhnya yang merupakan sumber utama terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan.
Perkosaan adalah jenis kekerasan terhadap perempuan paling menyakitkan, merendahkan dan menusuk nurani kemanusiaan. Islam dan agama-agama yang lain tentu saja sangat menentang kejahatan kemanusiaan ini. Dari sudut pandangan Islam, al-Qur-an menyatakan bahwa manusia adalah makhuk Tuhan paling terhormat. (Q.S. Al-Isra,17: 70). Dan manusia di hadapan Tuhan adalah setara dan sederajat (Q.S. al-Hujurat,49:13). Al-Qur-an juga menyebutkan haramnya saling melecehkan antara komunitas dalam masyarakat. (baca : al-Hujurat, 49: 11). Ali bin Abi Thalib, sahabat Nabi Muhammad, mengatakan : “hanya orang yang menghormati perempuanlah yang terhormat, dan hanya mereka yang merendahkan perempuanlah yang berjiwa rendah”.
Maka adalah kewajiban keislaman kita untuk bekerja keras menghapuskan aksi-aksi kebiadaban ini, melalui segala cara yang mungkin. Antra lain : menegakkan hukum secara adil bagi laki-laki dan perempuan, menghukum pelakunya dengan hukuman yang setimpal, tidak menghukum korban hanya karena dia beridentitas perempuan atau yang diposisikan berientitas rendah, menghapus pandangan apapun yang mensubordinasi perempuan dan mendiskriminasi hak-hak mereka, serta menciptakan sistem sosial yang setara dan adil. Penghormatan atas martabat manusia, kesetaraan manusia dan penegakan keadilan adalah pilar-pilar dan misi utama Islam sebagai agama Tauhid.
Cirebon, 25 Nopember 2012
Husein Muhammad
Komisioner Komnas Perempuan
Komentar
Posting Komentar