Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Perempuan dan Otonomi Daerah
Oleh Christina Yulita Purbawati
Divisi Parmas
Divisi Parmas
Otonomi Daerah hadir untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah. Meski beberapa daerah menunjukkan proses menuju pencapaian tujuan tersebut, misalnya telah ada kebijakan daerah yang mendukung pelayanan visum gratis, adanya Women Crisis Center (WCC), namun lebih banyak elit politik di daerah yang justru menggunakan Otonomi Daerah semata untuk meraih kekuasaan. Akibatnya tujuan utama menyejahterakan masyarakat terabaikan. Demikian diungkapkan oleh R. Siti Zuhro, MA, PhD, Peneliti Senior Ahli Politik LIPI dalam diskusi terbatas yang di gelar Komnas Perempuan (24/10/11).
Komnas Perempuan mencatat hingga Agustus 2011 terdapat 207 kebijakan yang diskriminatif, naik 74 persen dari tahun 2009. Dari sejumlah 207 kebijakan diskriminatif tersebut sebanyak 23 diantaranya secara langsung diskriminatif terhadap perempuan melalui pengaturan tentang cara berpakaian, pengurangan hak atas perlindungan dan kepastian hukum karena mengriminalkan perempuan atas kebijakan tentang prostitusi dan pornografi serta pengabaian hak atas perlindungan.
Hadirnya berbagai kebijakan diskriminatif tersebut menghalangi dan mengurangi hak perempuan seperti dijamin dalam UUD 1945. Hak tersebut meliputi (a) kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, (b) hak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani, (c) hak atas perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi dan (d) bebas dari perlakuan diskriminatif, dan (e) kepastian hukum.
Saat ini ada wacana untuk melakukan perubahan terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bagi Komnas Perempuan yang memiliki mandat melakukan studi khusus tentang “Pemenuhan Hak-hak Konstitusional Warga Negara di Era otonomi Daerah” maka perubahan UU Pemerintah Daerah harus dapat menjamin hak-hak warga negara dan utamanya perempuan. Oleh karena itu dalam perubahan UU tersebut ada beberapa hal yang perlu menjadi fokus perhatian seperti diungkapkan oleh Andy Yentriyani, Komisioner Komnas Perempuan. Pertama, pangaturan bahwa perempuan perlu berpartisipasi dalam setiap pembuatan kebijakan daerah. Partisipasi yang dimaksud lebih pada menyerap aspirasi mereka; kedua, Kantor Wilayah Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM menjalankan fungsinya melakukan harmonisasi kebijakan; dan ketiga, membatasi wewenang daerah dalam melakukan pengaturan tentang agama. Pengaturan agama hendaknya hanya menjadi kewenangan pusat untuk mengaturnya. Dengan demikian, visi Otonomi Daerah untuk menyejahterkan masyarakat diharapkan bisa terwujud.
Saat ini ada wacana untuk melakukan perubahan terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bagi Komnas Perempuan yang memiliki mandat melakukan studi khusus tentang “Pemenuhan Hak-hak Konstitusional Warga Negara di Era otonomi Daerah” maka perubahan UU Pemerintah Daerah harus dapat menjamin hak-hak warga negara dan utamanya perempuan. Oleh karena itu dalam perubahan UU tersebut ada beberapa hal yang perlu menjadi fokus perhatian seperti diungkapkan oleh Andy Yentriyani, Komisioner Komnas Perempuan. Pertama, pangaturan bahwa perempuan perlu berpartisipasi dalam setiap pembuatan kebijakan daerah. Partisipasi yang dimaksud lebih pada menyerap aspirasi mereka; kedua, Kantor Wilayah Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM menjalankan fungsinya melakukan harmonisasi kebijakan; dan ketiga, membatasi wewenang daerah dalam melakukan pengaturan tentang agama. Pengaturan agama hendaknya hanya menjadi kewenangan pusat untuk mengaturnya. Dengan demikian, visi Otonomi Daerah untuk menyejahterkan masyarakat diharapkan bisa terwujud.
Buku rujukan untuk memahami Hak-Hak Konstitusional Warga Negara Indonesia:
Atas Nama Otonomi Daerah Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara Bangsa Indonesia
Atas Nama Otonomi Daerah Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara Bangsa Indonesia
Komentar
Posting Komentar